Biografi Umar Wirahadikusumah


Umar Wirahadikusumah (lahir di Situraja, Sumedang, Jawa Barat, 10 Oktober 1924 – meninggal di Jakarta, 21 Maret 2003 pada umur 78 tahun) adalah Wakil Presiden Republik Indonesia keempat, yakni pada masa bakti 1983—1988.

Masa awal

Sebagai anak dari ayah Raden Rangga Wirahadikusumah, Wedana Ciawi dan ibunya Raden Ratnaningrum, putri Patih Demang Kartamenda di Bandung, Umar lahir di keluarga terpandang dan mengenyam pendidikan kolonial Belanda. Ia belajar di Europesche School (ELS) dan tamat tahun 1942. Umar kemudian melanjutkan sekolahnya di MULO sambil ikut pendidikan Seinendojo di Tangerang selama 8 bulan. Setamat itu, ia meneruskan pendidikan militernya ke pendidikan PETA di Bogor selama 6 bulan.

Pada masa penjajahan Jepang, Umar ikut aktif dalam kelompok militer yang kemudian berubah menjadi PETA, dengan menjabat komandan peleton di Tasikmalaya selama setahun, kemudian dipindahkan ke Pangandaran. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Umar bergabung dengan TKR, cikal bakal TNI, dengan menjadi komandan di Cicalengka, pada tanggal 1 September 1945.

Karier militer

Kodam VI/Siliwangi

Seusai perang kemerdekaan, Umar meniti kariernya di TNI Angkatan Darat dan lama ditempatkan di Kodam VI/Siliwangi (sekarang menjadi Komando Daerah Militer III/Siliwangi). Pangkatnya terus naik seiring dengan perannya yang meningkat dalam penumpasan berbagai pemberontakan pada masa pemerintahan Orde Lama, antara lain Peristiwa Madiun pada tahun 1948 dan PRRI. Pada saat AH Nasution menjadi Panglima Kodam VI/Siliwangi, Umar sempat menjadi ajudannya.

Kodam V/Jaya

Pada tahun 1959, ia dipindahkan ke Kodam V/Jaya sebagai Komandan Komando Militer Kota Besar (Dan KMKB) Jakarta Raya, dan akhirnya menjabat Panglima Kodam V/Jaya pada tahun 1961.

Gerakan 30 September

Pada saat pecahnya Gerakan 30 September (G30S) pada tahun 1965, sebagai Panglima Kodam V/Jaya, Umar bertanggung jawab terhadap keamanan di wilayah Jakarta. Ia melakukan patroli keamanan dan setelah mendapat laporan penculikan para jenderal dan melihat pasukan tak dikenal di depan Istana Merdeka, Umar melapor kepada Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto.

Umar mendukung keputusan Soeharto untuk mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat dan mendukung Soeharto dalam upayanya menumpas Gerakan 30 September. Siang hari, pada saat Presiden Soekarno memanggilnya ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, Soeharto khawatir bahwa pemanggilan tersebut merupakan percobaan untuk membunuh Umar dan Soeharto melarang Umar untuk memenuhi panggilan tersebut.

Soeharto mulai mengendalikan situasi Jakarta, dan Umar berada dibelakangnya untuk mengkonsolidasi. Umar menetapkan jam malam antara jam 18.00 dan 06.00 dan mengontrol seluruh surat kabar di Jakarta.

Pada saat Gerakan 30 September mulai dinyatakan didalangi oleh PKI, Umar menyetujui pembentukan KAP-GESTAPU.

Orde Baru

Walapun ia bukan merupakan lingkaran dalam Soeharto, Umar mendapatkan kepercayaan penuh Soeharto atas dukungan dan jasanya dalam menumpas G30S. Seiring dengan melesatnya karier Soeharto, karier Umar pun melesat dengan cepat. Pada tahun 1965, Soeharto mengangkat Umar menjadi Panglima Kostrad, menggantikan dirinya. Pada tahun 1967, Umar diangkat menjadi Wakil Panglima Angkatan Darat, dan pada tahun 1969, ia menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.

Pada tahun 1973, ia meninggalkan militer aktif dan menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), jabatan yang diembannya selama 10 tahun. Sebagai Ketua BPK, Umar bertanggung jawab untuk memastikan departemen-departemen dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya menggunakan uang negara dengan benar. Pada saat itulah Umar sebagai Ketua BPK menyatakan bahwa tidak ada satu departemen pun yang bebas dari korupsi.

Wakil Presiden

Pada tahun 1983, Umar dipilih MPR menjadi Wakil Presiden melalui Sidang Umum MPR 1983. Pemilihan ini tidak diduga banyak orang, mengingat figur Umar yang walaupun terkenal dengan integritas yang tinggi, masih belum dipersepsikan satu kelas dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik.

Sebagai Wakil Presiden pada pemerintahan Soeharto, Umar merupakan salah satu dari sedikit orang yang benar-benar berjuang untuk memerangi korupsi. Seorang yang religius, Umar berharap agama dapat menjadi faktor bertobatnya koruptor. Umar juga terkenal dengan inspeksi mendadak ke kota-kota dan desa-desa di daerah, untuk memantau kebijakan pemerintah pada tingkat pelaksanaan dan efek-efeknya pada rakyat.

Masa jabatan Umar berakhir pada Maret 1988 dimana ia digantikan oleh Sudharmono. Banyak kalangan yang kecewa ia tidak menjabat Wakil Presiden untuk masa jabatan selanjutnya. Reputasi baiknya pada saat itu menggugah Sudharmono untuk benar-benar memastikan bahwa Umar tidak bersedia untuk menjabat Wakil Presiden, sebelum ia sendiri bersedia untuk menggantikan Umar.

Wafat

Umar Wirahadikusumah mengembuskan napas terakhir, sekitar pukul 07.53 WIB, Jumat 21 Maret 2003 di Rumah Sakit Pusat TNI-AD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, setelah sempat mendapat perawatan intensif selama dua pekan.

Umar dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, Jumat petang pukul 16.00, dengan upacara militer yang dipimpin mantan Wapres Jenderal (Purn) Try Sutrisno dan komandan upacara Kolonel Tisna Komara (Asisten Intelijen Komando Cadangan Strategis TNI Angkatan Darat/Kostrad).

Ia menderita penyakit jantung selama tiga belastahun dan telah menjalani operasi by pass jantung tahun 1989 di Herz Und Diabetes Zentrum di Badoeyhausen, Jerman. Setelah operasi jantung tersebut, kesehatan almarhum cukup baik, bahkan tetap bisa berolahraga golf. Namun sejak September 2002, jantung mantan Pangdam V Jakarta Raya (1960-1966) ini kembali mengalami gangguan dan harus menjalani perawatan lagi di Jerman.

Sepulang dari perawatan di Jerman, ia terus menjalani home care karena daya pompa jantungnya telah sangat melemah dan adanya bendungan pada paru sehingga mengakibatkan sesak napas. Sejak 5 Maret 2003, ia dirawat di paviliun Kartika RSPAD, sejak 8 Maret 2003, mendapat perawatan di ruang ICU, hingga akhirnya wafat.

Keluarga

Umar wafat pada usia 79 tahun dan meninggalkan seorang istri, Ny Karlinah Djaja Atmadja, yang dinikahinya 2 Februari 1957, dan dua orang anak, Rina Ariani dan Nila Shanti, serta enam orang cucu.

Penghargaan

Bintang Dharma,
Bintang Gerilya
Bintang Kartika Eka Paksi I-II-III
Bintang Jalasena Klas I-II
Bintang Bhayangkara I-II
Satyalancana Kesetiaan 24 (XXIV) tahun Perang Kemerdekaan I-II
Satyalancana G.O.M I-II-V
Sapta Marga
Satyalancana Wira Dharma
Satyalancana Penegak
Satyalancana Dwija Sistha
Das Gross Vergenst Kreus Jerman,
Legion of Merit - Amerika Serikat
Orde van Oranye Nassau - Nederland (Belanda)
Panglima Setia Mahkota - Malaysia
Bintang Keamanan no 1 - Korea Selatan

Postingan Ini Dilindungi HAK Cipta, Dan menggunakan Anti Block Dan Copy dengan CSS3 (Belum bisa ditembus seperti Anti Copy Javascript) untuk menghindari Penjiplakan, Untuk Itu jika anda membutuhkan isi dari postingan ini untuk keperluan pembelajaran, anda dapat mengirimkan E-Mail ke djnand.dj@gmail.com

Previous
Next Post »
Thanks for your comment